Wednesday 16 May 2007

Das weinende Kamel

Photo Sharing and Video Hosting at PhotobucketKemarin aku barusan nonton film ini walaupun sebenarnya aku sudah punya film ini lama banget. Kebetulan Magali, temen satu kursusku dari Perancis tahu aku suka banget nonton jadinya dia merekomendasikan film ini ke aku. Judul panjangnya si „Die Geschichte vom weinenden Kamel“ atau kalau diterjemahkan ke bahasa Inggris jadinya "The Story of the Weeping Camel". Film buatan Jerman tahun 2003 ini adalah hasil kolaborasi antara sutradara wanita dari Mongolia, Byambasuren Davaa (yang juga ikut berperan dalam film ini), dan asisten sutradara merangkap kameramen asal Italia yang bernama Luigi Falorni (sekarang dia menetap di Berlin, Jerman).

Komentarku: film yang sangat bagus. Buat pencinta film-film dokumenter, film ini sangat aku rekomendasikan. Kalau tidak salah film ini juga masuk nominasi Oscar untuk film dokumenter. Photo Sharing and Video Hosting at PhotobucketTapi kurang tahu jelasnya menang atau tidak. Film ini diawali dari cerita sang sutradara, Davaa, kepada temannya, Luigi, si asisten sutradara. Katanya kalau di Mongolia ada semacam ritual yang dilakukan oleh sebagian suku nomaden. Ritual ini dilakukan bila salah satu ternaknya menolak kehadiran anaknya. Maka jalan yang ditempuh oleh suku ini adalah terapi musik. Salah seorang dari suku ini akan menyanyi untuk ternaknya dangan alat musik tradisional dengan tujuan untuk membantu si induk ternak menemukan kembali hati atau jiwanya sebagai ibu dari anaknya.

Photo Sharing and Video Hosting at PhotobucketDalam film ini juga diceritakan mengenai kehadiran seekor unta albino yang ditolak oleh induknya. Sang induk menolak sama sekali untuk memberinya susu. Akhirnya sang pemiliklah yang harus rela memeras susu si induk dan memberikannya pada si anak. Kasihan deh waktu melihatnya. Aku sendiri jadi pengen ikutan nangis. Ada scene dimana si pemilik maksain, jadi si induk diikat pake tali dan si anak dipaksa untuk minum susunya. Bukannya si induk itu tenang malahan dia pake acara teriak-teriak sambil nendang-nendang. Otomatis tendangannya itu kan kena si anak. Mungkin kapok juga, si anakpun jadi takut sama induknya. Ada adegan juga si anak unta ini melihat ke anak-anak unta yang lain, sepertinya sedih karena mereka bisa bercanda dengan induknya sedangkan dia, begitu mendekat ke induknya, eh si induk malah berlari menjauhinya. Kasihan banget deh.

Photo Sharing and Video Hosting at PhotobucketNah akhirnya si pemilik melalukan ritual musik. Dengan kehadiran guru musik dari daerah lain, mulailah mereka ritual itu. Si Ibu unta diikat dan dipegang kuat-kuat. Waktu salah seorang perempuan suku Mongol mulai menyanyi (sang sutradara sendiri loh yang nyanyi...hebat), si guru musik pun mulai memainkan alat musik tradisionalnya, yang seperti kecapi tapi digesek. Lagunyapun menyayat hati. Meskipun gak ngerti bahasa Mongolia, sejenak aku pun merasakan aura yang dikeluarkan dari nyanyian itu. Si istri peternak masih tetap menyanyi sambil mengelus-ngelus si induk unta, sang suami mencoba mambawa si anak unta. Sekali lagi mereka pun menyuruh si anak unta untuk meminum susu si induk. Walaupun takut-takut, si anakpun mencoba minum. Kali ini dia tidak ditendang tapi si induk masih saja berteriak meronta seperti tidak terima. Si istri peternak pun makin keras menyanyi dan semakin intens mengelus si induk unta, sampai akhirnya si ibu unta ini menangis. Bener loh...si ibu unta menangis. Airmatanya sampai menetes. Aku saja sampai mau ikutan nangis. Mungkin tangisan insaf kali ya, karena sudah bersikap jahat terhadap anaknya. Akhirnya si induk dan anaknya pun bersatu. Si anak boleh langsung minum susu dari ibunya dan pemiliknya pun lega.

Meskipun film ini alurnya agak membosankan karena tidak terlalu banyak dialog tapi secara garis besar ini film yang bagus kok. Coba nonton dan rasakan sendiri. Tapi aku juga ga yakin ya apa ada versi Inggrisnya, karena film yang aku punya sendiri ini versi Jerman. Maaf loh ya kalo aku sudah kebablasan cerita sampai ending film nya hehehehe. Anyway selamat menonton.

No comments: