Wednesday 19 April 2006

"Kerokan"

Sepulang dari Itali, Steffen terus-terusan mengeluh tidak enak badan, katanya semua serba salah. Tenggorokan sakit, hidung buntu, kepala pusing, perut kembung, dan kunjungan rutin ke kamar mandi membuatnya terbaring lemas di sofa kesayangannya. Saya jadi tidak tega juga. Akhirnya saya suruh dia tiduran di ranjang kamarnya dan seluruh badannya saya kasih minyak kayu putih yang memang saya bawa dari Indonesia. Satu botolpun hampir habis cuma sama Steffen sendiri. Dia suka sekali sama wanginya dan juga rasa hangatnya kalau dioleskan di seluruh tubuh. Oh perkenalannya sama minyak kayu putih ini pertama kali waktu kunjungannya ke Indonesia tahun lalu. Waktu itu dia sempat kena diare (mungkin karena kaget kena makanan Indonesia), terus sama Mama saya langsung saja dia dikasih minyak kayu putih, asli loh dari Ambon sana, bukannya botolan cap gajah yang dijual di pasaran.

Kasihan juga dia, harus nyetir sendiri nonstop 16 jam. Kita mulai jalan dari Roma jam 10 pagi dan sampai di Ingolstadt jam 2 pagi. Itupun tanpa berhenti makan siang, cuma berhenti di pompa bensin buat isi bensin dan menyalurkan hasrat alamiah. Kita sudah persiapan dengan beberapa apel, biskuit, dan beberapa makanan ringan lainnya. Maklum ceritanya mau ngirit, soalnya makan di Itali ternyata jauh lebih mahal dari di Jerman. Mungkin karena kurang makan akhirnya Steffen jadi sakit? Bisa jadi. Well, sebenarnya bisa saja kita sampai di Jerman lebih awal. Tapi, lagi-lagi, demi ngirit, kita menghindari jalan tol (kalau disini istilahnya Autobahn). Soalnya di Itali itu beda sama di Jerman. Kalau di Jerman, Autobahn-nya bebas biaya tapi kalau di Itali kita dikenakan biaya dan lagi-lagi amat sangat mahal, bisa sampai 50€. Sebenarnya sih jalannya enak dan juga pemandangannya indah karena kita lewat pinggiran Italia, pesisir Adriatic Sea , yang memisahkan Italia dan Kroasia. Tapi begitu dekat dengan perbatasan Italia dan Austria kita malah diarahkan lewat pegunungan. Oh ya, waktu itu kita menggunakan navigation system , jadi enak tidak perlu lihat-lihat peta lagi, sudah ada suara dari alat itu yang memberi komando ke-kiri atau ke-kanan. Waktu itu sudah sore dan kita sempat khawatir karena pegunungan ini biasanya masih bersalju sedangkan ban mobil Steffen sudah tidak memenuhi kapasitas jalanan dengan salju. Bayangkan saja, sudah jalannya berkelok-kelok, pinggir sudah jurang, kabut juga kadang menghalangi pandangan jalan, dan sudah mencapai ketinggian 1500 meter dari permukaan laut tetap saja kita belum mencapai puncak. Saya pun sudah tidak dapat menutupi ketegangan saya, karena saya langsung pegangan kuat-kuat tiap kali ada belokan tajam. Makin atas, salju makin tebal di pinggir jalan dan kabutpun makin banyak. Ya, akhirnya kitapun sampai di puncak pegunungan itu dan begitu kita cek, kita ada diatas ketinggian 2200 meter dari permukaan laut. Hebat hebat!!! Di puncak ini kita sempet berhenti juga sepersekian detik, karena hasrat saya sudah tak tertahankan lagi untuk menyalurkan hasrat alamiah hehehe. Mungkin Steffen juga sebenarnya tegang karena jalannya memang curam sekali, dan karena itu dia jadi sakit.

Besoknya dia makin parah. Badannya panas sekali dan dia sama sekali tidak mau makan. Memang bandel! Padahal saya sudah bilang, makan saja sedikit dan bisa minum obat dan langsung tidur. Dia terus-terusan bilang kalau dia kedinginan dan memang dia menggigil padahal dia sudah pakai kaos rangkap 2 ditambah pullover dan saya kasih selimut yang tebal 2 tumpuk. Semua manusia juga pasti langsung keringatan tapi dia masih tetap saja kedinginan. Hm, saya jadi tambah bingung dan agak takut juga kalau dia sampai kenapa-kenapa. Mana pesediaan makanan ya cuma beras saja dan memang saya sudah buatkan bubur buat dia. Buka lemari sana-sini akhirnya saya ketemu bawang merah dan jahe. Saya jadi ingat nenek saya (almarhum) yang suka sekali merajang bawang merah kalau perut saya kembung. Jadilah saya rajang 1 siung bawang, sedikit jahe dan terus saya tuangkan minyak kayu putih saya sampai habis. Saya remas-remas sebentar sampe minyakn kayu putihnya bercampur sama bawang merah dan jahe. Setelah itu saya bilang ke Steffen, "apa kamu mau coba pengobatan tradisional ala Indonesia? Tapi bakalan bau banget and hopefully bisa buat kamu keringetan". Eh, ternyata dianya mau aja. Ok deh langsung saja saya labur itu ramuan campur-campur ke seluruh badannya dia. Pokoknya bau banget! Ya bau bawang merah gitu tapi pasti bisa buat dia agak hangat, la wong tangan saya saja ikutan panas dan sayapun ikutan nangis bombay gara-gara bau bawangnya buat perih mata.

Setelah percobaan pengobatan tradisional itu Steffen pun tertidur lelap dan setelah saya cek, panasnya lumayan menurun. Sepertinya badannya mulai terasa hangat gara-gara bawang merah ramuan saya. Syukurlah. 1 jam kemudia dia terbangun dan dia bilang kalau dia mau ganti baju karena dia keringetan selama tidur. Well, that's good, demamnya jadi lumayan turun. Setelah itu diapun mau makan bubur buatan saya dan langsung saya kasih Panadol yang lagi-lagi memang saya bawa dari Indonesia. Oh, dia saya kasih Panadol karena dia mengeluh pusing dan juga karena demamnya. Setelah itu dia tidur lagi untuk waktu yang cukup lama. Bangun-bangun dia teriak lapar dan minta dibuatkan bubur lagi sama teh hangat rasa peppermint katanya. Wah dia sudah kayak bayi aja manjanya. Dan tetap mengeluh kalau badannya sakit semua dan juga kepalanya masih pusing. Dia sempat minta Panadol lagi sih tapi saya tidak kasih. Saya sih mikirnya jangan-jangan dia masuk angin (walaupun di Jerman sini tidak ada angin yang suka masuk-masuk hehehe). Saya tanya ke dia, "Steffen, kamu mau coba pengobatan yang lebih tradisional lagi? Tapi kali ini pasti agak sakit, tapi sakit enak kok". Dia tanya, "Sakit? Emangnya diapain?". Saya bilang lagi, "Istilah Indonesianya dikerokin. Badan kamu saya kasih balsam hangat trus pakai uang koin saya kerok sampai badan kamu merah yang artinya anginnya keluar or at least dipaksa keluar. Mau ya?". Eh, dianya ngangguk pasrah. Ok langsung saja saya buka koleksi koinnya dia. Saya coba pilih-pilih koin yang tidak terlalu tajam dan akhirnya saya ketemu koin 20 cent euro. Langsung saja Steffen saya kerokin tanpa ampun. Meskipun dia meringis bahkan sampai teriak kesakitan, saya tetap maju terus pantang mundur. Ternyata memang merah banget bahkan bercampur ungu gitu. Jadi benar dugaan saya kalau di Jerman pun ada yang namanya masuk angin meskipun Steffen tidak percaya. Setelah rata dari leher, punggung dan dadanya saya kerokin, diapun benar-benar tidur dengan pulasnya. Dan, paginya demamnya benar-benar hilang, dan juga sakit kepalanya. Saya senang sekali bukan main. Hari itu kebetulan mama papanya Steffen mau dateng bawa chicken noodle soup yang katanya memang buat orang sakit. Untungnya Steffen sudah tidak begitu parah, yah cuma pilek aja. Ternyata ujung-ujungnya dia kena flu.

Ternyata saya ketemu juga koin euro yang bisa dipakai buat kerokan hehehe. Tapi nanti kalau saya balik lagi ke Jerman, saya tidak akan lupa bawa koin kerokan yang asli biar lebih afdol begitu. Hayo, teman-teman yang ada di Jerman, ada yang mau saya kerokin? Gratis kok. Mbak Tina, c Vivie, atau Sylvia?

2 comments:

Vivie said...

wah....carol kok sama gitu aku juga suka kerokan ampe peter teriak-teriak takut kalau nggak bisa ilang karena merah kayak darah hehehehheh hidup kerokan......

keluarga warken said...

Wah, Carol.... si Daniel ngga mau kerokan tuh! Tapi untung dia jarang sakit. Yang sering masuk angin di sini, yah aku :-) Si Daniel udah diajarin ilmu mengerok, soalnya aku suka dikerok. Namun ilmunya belum sakti mandraguna :-)) Mesti diajarin pelan2. Oh ya, minyak kayu putih emang manjur... di tempatku sini minyak tersebut harus selalu tersedia. Dipake sama Daniel terus...