Wednesday 31 January 2007

Semangat Hidup dan Optimisme


Belakangan hari ini aku mengalami banyak hal yang membuat aku ingin menulis tentang optimisme hidup. Pengaruh dari orang-orang di sekitar yang aku temui sehari-hari dan juga buku-buku yang aku baca. Well awal mulanya aku dengar dari cerita Tante Mathilda yang sempat aku kunjungi beberapa minggu yang lalu. Tante ini kadang suka menyempatkan diri mengunjungi seseorang yang spesial. Spesial karena orang ini tidak seperti kita pada umumnya.

Namanya Steffan, umurnya sama sama aku, 27 tahun. Katanya si dia ini baru saja menyelesaikan studinya atau menyelesaikan ujiannya (aku juga gak jelas banget gimana). Dia baru saja kecelakaan sepeda motor yang menyebabkan dia harus selamanya duduk di kursi roda. Um gak tega banget ya. Bayangin saja seumur aku begini tapi hanya bisa bergantung pada kursi roda. Aku sempet tanya-tanya sama Tante Mathilda tentang dia dan ternyata dia masih bisa melakukan semuanya sendiri. Dia tinggal di apartemen-nya sendiri dan terbiasa melakukan semuanya sendiri. Diapun masih menerima pesanan design freelance. Apartemen-nya memang di-design oleh orangtuanya sedemikian rupa sehingga memudahkan aktivitasnya sehari-hari seperti masak, mencuci dan lain sebagainya. Hm HEBAT BANGET YA! Dia masih tetap punya optimisme yang tinggi dan tegap berdiri sendiri (bahkan mungkin lebih tegap daripada manusia yang sempurna sekalipun). Orangtuanya kebetulan tinggal cukup jauh dari München, karena itu kadang-kadang Tante Mathilda suka datang mengunjunginya sekadar ngajak ngobrol saja. Bayangin saja, untuk makan dia butuh waktu 2 jam, tapi dia gak pernah malu dan putus asa.

Hal yang sama aku temui di novel yang baru saja aku selesai baca. Judulnya "Tuesday with Morrie" dan penulisnya Mitch Albom. Disini Albom menceritakan secara nyata hari-hari terakhir yang dia habiskan dengan mantan dosennya, Prof. Morrie Schwartz. Sosok Morrie sendiri digambarkan sebagai seorang yang sangat lemah karena penyakait ALS yang dideritanya. Tapi tidak satupun aku temukan kata-kata yang menyiratkan keputusasaan, bahkan sampai detik terakhirnya (kalau gak percaya, coba baca deh). HEBAT BANGET! Bahkan dia ini sempet-sempetnya menyemangati Albom. This book is really about life, dan bagamana kita harus tetap optimis dan positif dalam menjalaninya. Inspiring banget!

Begitu pula aku perhatikan beberapa orang yang aku temui di Bahnhof (stasiun kereta). Ada satu orang yang sangat berkesan di hati dan dia yang membuat aku makin ingin menulis hari ini di sela-sela kesibukanku dengan kursus. Well, bukan karena dia seorang yang sangat tampan tapi karena dia selalu menatap kearah semua orang yang lalu lalang dengan tersenyum. Sungguh langka untuk ukuran orang Jerman, apalagi di tengah hiruk pikuknya Bahnhof. Mungkin umurnya sekitar 30, rambutnya agak ikal dan blonde tapi masih terlihat warna coklat gelapnya, badannya bagus dan cukup tinggi, dan yang paling mempesona adalah matanya yang biru kehijauan. Sudah 2 hari ini aku senang mengamati dia dan aku tidak perlu khawatir karena walaupun sesekali dia melihat kearahku (masih dengan senyumnya) tapi dia tidak akan pernah tahu kalau aku suka dengan diam-diam melihatnya. Ya, sayang sekali, matanya yang biru kehijauan itu ternyata tidak sesempurna kelihatannya. Dia harus selalu mengandalkan tongkat yang sesekali diayunkan beberapa langkah didepannya. HEBAT! Dan dia tahu dengan tepat pintu U-Bahn (=subway) yang ditujunya. Tapi, mein Gott!, orang-orang ini tidak pernah sekalipun memberi dia jalan meskipun tongkat yang dia ayunkan sesekali mengenai kaki orang-orang itu, mereka yang ingin segera naik kereta. Sesampainya di dalam kereta aku sempatkan mengamatinya lagi, dia disana masih dengan senyumnya (yang terlihat sangat tulus - jadi ga tega!), matanya yang biru kehijauan, dan juga masih dengan tongkat di tangannya. Ah...God has created such a perfect human though: that's what I thought!

So this is what Morrie said about him, about life, abouth death, about lesson, about optimism:
Take my condition. The things I am supposed to be embarrassed about now — not being able to walk, not being able to wipe my ass, waking up some mornings wanting to cry — there is nothing innately embarrassing about them.

As you grow, you learn more. If you stayed as ignorant as you were at twenty- two, you'd always be twenty-two. Aging is not just decay, you know. It's growth. It's more than the negative that you're going to die, it's the positive that you understand you're going to die, and that you live a better life because of it.

The most important thing in life is to learn how to give out love, and to let it come in. Once you learn how to die, you learn how to live.

2 comments:

Klara Karina Limongan said...

menurutku dari orang2 semacam itu kt bisa melihat indahnya dunia bukan?

Die Seite 13 said...

Tepat sekali!!